PENDAHULUAN
Kebudayaan Jawa merupakan kebudayaan yang terpresentasi dalam bentuk tradisi, baik berupa tradisi yang berupa hiburan, bersifat spiritual, berbau mistik, ataupun kolaborasi dari ketiganya. Tradisi yang berupa hiburan misalnya tari-tarian, nembang, dan masih banyak lagi. Contoh tradisi yang bersifat spiritual yaitu tradisi keraton. Tradisi yang berbau mistik contohnya mantera-mantera, azimat, dan ramalan. Sedangkan wayang adlah salah satu dari sekian banyak varian kebudayaan Jawa yang mengandung hiburan, spiritual, maupun mistik.
Di dalam pandangan dunia Jawa terdapat empat lingkaran yang bermakna. Yang pertama, sikap terhadap dunia luar yang dialami sebagai kesatuan kepercayaan ukhrowi antara alam, masyarakat, dan alam adikodrati yang keramat serta dilaksanakan dalam kegiatan ritual tanpa refleksi eksplisit terhadap dimensi batin sendiri secara kental dan kuat dalam lapisan masyarakat desa. Yang kedua, memuat penghayatan kekuasaan politik sebagai ungkapan alam numinus (ukhrowi dan adikodrati). Yang ketiga, berpusat pada pengalaman tentang keakuan sebagai jalan ke persan dengan Yang Maha Kodrati. Yang keempat, penentuan semua lingkaran pengalaman oleh Yang Ilahi, oleh takdir.
Pandangan dunia Jawa menjelaskan tentang realitas satu kesatuan utuh yang memiliki tolak ukur pada kondisi psikis dan pandangan batin masyarakat Jawa. Pada hakikatnya masyarakat Jawa tidak membeda-bedakan antara sikap-sikap religius dan bukan religius. Sehingga apabila bicara mengenai dunia Jawa, kita membicarakan tentang kepercayaan dan mitos.
Pada masyarakat Jawa, umumnya terdapat pula tradisi-tradisi yang sering dilakukan. Hal ini tidak lepas dari peran kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Jawa itu sendiri. Tradisi-tradisi tersebut telah terinternalisasi sejak dulu sebelum ajaran Islam masuk ke tanah Jawa.
RUMUSAN MASALAH
A. Bagaimana tradisi masyarakat Jawa?
B. Bagaimana pandangan masyarakat Jawa dari segi kepercayaan?
C. Bagaimana pandangan dunia Jawa tentang kehidupan?
D. Bagaimana pandangan dunia Jawa tentang kekuasaan?
PEMBAHASAN
A. Tradisi Masyarakat Jawa
Bagi masyarakat Jawa, hidup ini penuh dengan tradisi, baik tradisi-tradisi yang berkaitan dengan lingkungan hidup manusia sejak dari keberadaannya dari perut ibu, lahir, kanak-kanak, remaja, dewasa sampai dengan kematiannya. Hal ini dikarenakan, menurut Koentjaraningrat yang dimaksud masyarakat adalah kesatuan hidup dari makhluk-makhluk manusia yang terikat oleh suatu sistem adat istiadat.
Berkaitan dengan lingkungan orang Jawa yang erat dengan kegiatan ritual yang bernuansakan Islam, menurut Geertz ada berbagai jenis tradisi, antara lain sebagai berikut.
1. Tradisi pada saat kehamilan
Upacara kehamilan antara lain adalah waktu kehamilan tujuh bulan yang disebut dengan tingkepan atau mitoni. Upacara tingkepan merupakan upacara utama sehingga seringkali dibuat secara besar-besaran terutama bagi kehamilan pertama. Kehamilan kedua, ketiga, dan seterusnya hanya dengan brokohan saja atau upacara sederhana.
Jika hamil pertama, upacara itu antara lain dengan melakukan rujakan, yang terdiri dari sabut kelapa muda dicampur dengan gula merah, jeruk dan ditempatkan di dalam takir yang terbuat dari daun pisang yang diteliti dengan janur atau daun kelapa muda, biasanya dua takir. Dua takir lainnya berisi nasi uduk yang diatasnya diberi bahan-bahan memasak, dan ditambah dengan tujuh telur, bucu pitu dalam posisi yang tengah besar dan dikelilingi oleh enam buah bucu lainya kecil-kecil. Dua tampah punar, polo pendem ( ubi gembili,suwek tales, ganyong, telo dan sebagainya). Selain itu juga terdapat dua wadah terbuat dari bungkusan daun pisang yang terdiri dari kembang tujuh macam, yaitu kembang melati, gading, kenanga, kantil, empon-empon, mawar dan matahari. Ditambah dengan bubur merah putih dan dua kelapa muda.
Ada juga upacara tingkepan yang lebih kompleks, biasanya ini dilakukan oleh kaum elite, berstatus sosial tinggi. Upacara ini dimulai jam 4 sore setelah semua uborampe selesai. Upacara ini dimulai dari sungkeman kepada kedua orang tua dari kedua pihak, kemudian pelaku upacara dimandikan dengan kembang tujuh rupa dan dilanjutkan dengan memasukkan kelapa muda (cengkir) kedalam pakaian wanita oleh suaminya. Cengkir pun dijatuhkan, jika cengkir pecah menandakan bayi yang akan dilahirkan nanti adalah perempuan dan jika tidak pecah menandakan bayi akan berkelamin laki-laki. Setelah ganti pakaian kering dilanjutkan dengan dolanan dawet kereweng. Yaitu si perempuan berjualan dawet dengan menggunakan uang pecahan genting.
2. Tradisi Tedak Siten
Upacara tedak siten merupakan suatau ritual peralihan yang umum dilakukan tidak hanya pada kalangan masyarakat Jawa. Etnik lain seperti Melayu, Banjar, dan Bugis juga mengenal upacara semacam yang dikenal sebagai upacara turun tanah.
Secara bahasa arti kata tedak siten ini memang turun tanah. Upacara tedak siten yang dilaksanakan di kalangan masyarakat Jawa dilakukan ketika sebuah keluarga memiliki anak, laki-laki atau perempuan yang telah mencapai tujuh lapan. Upacara ini dilakukan untuk memperkenalkan anak untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di bumi atau tanah.
Upacara ini biasanya dilaksanakan pada pagi hari di halaman rumah keluarga bersangkutan, tepat pada kelahiran anak. Upacara ini memiliki tujuan agar anak tersebut kelak setelah dewasa akan menjadi orang yang kuat dan mampu berdiri sendiri. Selain itu, juga memiliki tujuan agar anak kelak akan mudah dalam menjalani kehidupan yang penuh tantangan dan tercapai apa yang dicita-citakan.
Perlengkapan yang dibutuhkan dalam upacara tedak siten yaitu sesaji selamatan, yang terdiri atas:
- Nasi tumpeng dengan sayur-mayurnya.
- Jenang merah putih.
- Jenang baro-baro.
- Jajan pasar selengkap-lengkapnya.
- Juwadah lima macam warna, yaitu merah, putih, hitam, kuning, dan hijau.
- Bunga setaman dan tanah yang disiapkan dalam bokor besar.
- Tangga yang dibuat dari batang tebu merah hati.
- Kurungan ayam yang dihiasi dengan janur kuning atau kertas hias warna warni.
- Padi, kapas, sekar telon (mawar, melati, dan kenanga).
- Beras kuning dan berbagai lembaran uang.
- Bermacam-macam barang berharga, seperti gelang, kalung dan peniti.
- Bermacam-macam barang yang bermanfaat, misalnya buku dan alat tulis.
B. Pandangan Masyarakat Jawa dari Segi Kepercayaan
Sebelum Islam membumi di Jawa, yang membingkai corak kehidupan masyarakat adalah agama Hindu-Budha serta kepercayaan animisme maupun dinamisme. Hindu, Budha, animisme maupun dinamisme yang menjadi sistem kepercayaan atau agama tentunya telah mengajarkan konsep-konsep religiusitas yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan yang diyakini sebagai pencipta alam.
Berkaitan dengan kepercayaan animisme dan dinamisme, dalam tradisi Jawa terdapat berbagai jenis barang yang dikeramatkan yang disebut azimat, pusaka, keris, ikat kepala, dan lain-lain. Manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan tertentu dipandang sebagai suci, keramat, dan bertuah. Barang-barang ataupun orang-orang keramat itu dipandang sebagai penghubung (wasilah) dengan Sang Pencipta. Oleh karena itu, bacaan doa-doa tertentu berubah menjadi mantera dan huruf-huruf Arab menjadi rajahan yang diyakini mempunyai nilai yang sangat berarti dan memiliki daya ghaib.
Orang Jawa juga percaya tempat-tempat yang baik, hari bulan, dan tahun yang membawa kepada nasib baik itu perlu dicari dan ditentukan dengan cara-cara yang magis. Hari-hari jelek disebut dengan na’as. Pada hari-hari na’as tidak boleh melakukan kegiatan-kegiatan dan untuk menangkalnya dengan mengadakan upacara. Dalam upacara tersebut selalu ada sesaji dan doa-doa tertentu.
Percaya pada makhluk jahat ada dalam kepercayaan orang Jawa, setan dan raksasa sebagai sebutannya. Orang Jawa menyebut berbagai jenis mahluk halus atau roh jahat yang sering menggoda manusia dan dapat menjelma dalam bayangan seperti manusia maupun hewan. Orang Jawa juga percaya bahwa arwah orang-orang tua sebagai nenek moyang yang telah meninggal dunia berkeliaran di sekitar tempat tinggalnya.
Gaya hidup orang Jawa yang cenderung pada kebatinan sebagai budaya untuk mengatasi alam material dengan kekuatan ghaib (okultis). Percaya adanya ramalan-ramalan, kemungkinan lambang-lambang, kesaktian barang-barang keramat dan makam-makam. Sikap hidup semacam ini hampir ada di semua daerah jawa, lebih-lebih di Jawa Tengah terutama daerah lingkungan istana (Solo dan Yogyakarta) dan daerah sekitarnya.
Seperti bangsa-bangsa lain, penduduk pulau Jawa berkembang bersama alam. Pada awalnya, penduduk Jawa merupakan bangsa pengembara di rimba belantara, dan berjuang mempertahankan hidupnya ditengah binatang dan alam yang masih buas. Ditengah alam yang masih buas itulah orang Jawa mulai mempelajari pengaruh alam berupa cuaca panas dan dingin, hujan dan kekeringan, angin dan topan, terang dan gelap, dan semua kekuatan yang terdapat di alam. Dengan terus menerus berjuang melawan alam, lambat laun penduduk pulau Jawa dapat mengenal kekuatannya sendiri.
Melalui pergaulannya dengan berbagai kekuatan alam, timbullah pemahaman di kalangan orang Jawa bahwa setiap gerakan, kekuatan, dan kejadian di alam disebabkan oleh makhluk-makhluk yang berada disekitarnya. Paham ini yang disebut dengan paham Animisme, yaitu paham yang meyakini adanya kekuatan roh atau kekuatan alam lainnya. Keyakinan hasil didikan alam ini terus dianut oleh orang Jawa secara turun-temurun. Bahkan ketika zaman kolonial, ketika orang Jawa sudah banyak yang menganut agama formal,seperti Islam, Hindu, Nasrani dan pemujaan terhadap kekuatan alam tidak ditinggalkan. Tampaknya, agama yang mereka anut tidak mampu menghilangkan keyakinan terhadap adanya kekuatan alam.
Kepercayaan atau ritual yang dilakukan oleh orang Jawa disebut sebagai “kejawen”. Ajaran kejawen merupakan keyakinan dan ritual campuran dari agama-agama formal dengan pemujaan terhadap kekuatan alam. Sebagai contoh, orang Jawa banyak yang menganut agama Islam, namun pengetahuan mereka tentang agamanya boleh dikatakan masih kurang mendalam. Karena, dalam keberagaman rata-rata masyarakat Jawa adalah nominalis, dalam arti bahwa mereka tidak bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ajaran-ajaran agamanya. Ada juga diantara mereka yang benar-benar serius dalam menjalankan ajaran-ajaran agamanya. Praktik keagamaan yang dilakukan hanya sebagai seremoni semata.
Karena kurangnya keseriusan dalam memahami dan mengamalkan agamanya, berakibat kepada beberapa hal, yang antara lain mudahnya mereka untuk tergiur dalam mengadopsi kepercayaan, ritual, dan tradisi dari agama lain, termasuk tradisi asli pra Hindu-Budha yang dianggap sesuai dengan alur pemikiran mereka. Oleh karena itu, meskipun mengaku sebagai orang muslim, mereka juga meletakkan kembang setaman dan sesaji lainnya di tempat-tempat khusus pada hari-hari tertentu, mengadakan ruwatan untuk anak-anaknya yang perlu diruwat, melakukan laku khusus pada malam satu suro , dan mengeramatkan keris serta benda-benda pusaka lainnya.
Menurut Ibnu Ismail, ada beberapa kepercayaan khas masyarakat Jawa yaitu:
- Pemujaan pada benda alam dan binatang, acara dan benda-benda lain.
- Persembahan macam-macam sesaji. Adakalanya untuk menyenangkan roh dan arwah yang dihormati, mengusir sial, juga sekadar rutinan. Semuanya ditujukan untuk keselamatan diri.
- Meyakini saat-saat sial dan mujur berdasarkan tanda, hitungan dan pelanggaran mitos.
- Percaya pada macam-macam roh.
- Simbolisasi tradisi.
- Laku tapa yang disebut yoga sebagai sarana mendapat kekuatan.
- Mempraktekkan berbagai jenis magis seperti satet, teluh, guna-guna, gendam, pellet, perewangan, pesugihan dan berbagai jimat.
- Hiburan rakyat, wayang, gending, kidung, opera.
C. Pandangan Dunia Jawa Tentang Kehidupan
Franz Magnis Suseno menegaskan bahwa yang dimaksud pandangan dunia Jawa ialah pandangan secara keseluruhan semua keyakinan deskriptif tentang realita kehidupan yang dialami oleh manusia, sangat bermakna dan diperoleh dari berbagai pengalaman.
Manusia dalam hidupnya memandang dunia sebagai sebuah acuan untuk dapat mengerti tentang sebuah kerangka acuan untuk dapat mengerti tentang masing-masing pengalaman yang dilalui. Dalam hal ini, lebih lanjut Suseno menjelaskan yang khas bagi pandangan dunia Jawa adalah realitasnya yang tidak dibagi-bagi dalam berbagai bidang yang terpisah-pisah dan tanpa ada hubungan satu sama lain, melainkan dipandang sebagai satu kesatuan. Sebab, pada hakikatnya orang Jawa tidak pernah membeda-bedakan antara sikap religius dan bukan religius, menganggap interaksi sosial sekaligus merupakan sikap terhadap alam, dan sebaliknya sikap terhadap alam mempunyai relevansi sosial. Bahkan Mulder mengatakan, bahwa pandangan dunia Jawa terhadap pekerjaan, interaksi dan data tidak memiliki perbedaan prinsip yang hakiki.
Pandangan dunia jawa tentang kehidupan mengatakan bahwa antara masyarakat dan alam merupakan lingkup kehidupan orang Jawa sejak lahir. Masyarakat sebagai perwujudan kumpulan keluarga yang besar, terjadinya mula-mula dari keluarga kecil (sendiri), keluarga tetangga, baik dekat maupun yang jauh, dan akhirnya seluruh desa. Lingkungan ini diatur dengan berbagai norma, dan adat sehingga akhirnya nanti setiap anggotanya akan menemukan identitas dan keamanan jiwa. Bila anggota masyarakat terpisah dari aturan tersebut, maka mereka meraaa dikucilkan, sendirian, dan seolah-oleh hidupnya tanpa makna.
Melalui masyarakat mereka merekatkan hubungan dan menjalin persaudaraan, serta berhubungan dengan sang alam. Masyarakat bagi orang Jawa merupakan sumber rasa aman. Begitu pula alam, dihayati sebagai kekuasaan yang menentukan keselamatan dan kehancurannya. Oleh karena itu, indrawi bagi orang Jawa merupakan ungkapan alam gaib, yaitu misteri kuasa yang mengelilinginya dan darinya akan diperoleh eksistensinya sebab alam alam merupakan ungkapan kekuasaan yang menentukan kehidupannya yang penting, misalnya kelahiran, puputan, tetesan, khitanan, pernikahan, kehamilan, proses penuaan dan kematian.
Penduduk Jawa yang sederhana (petani) setelah menemukan identitasnya secara kelompok, akan bersama-sama mengarungi hidup yang terus-menerus berhadapan dengan alam sebagai perwujudan pengakuan kepada kekuasaan Illahiah yang menentukan kehidupan seluruhnya. Realita membuktikan bahwa mereka masih mempunyai kepercayaan kalau dibalik keberhasilan dalam panen bukan hanya bergantung pada alam seperti matahari, hujan, angin dan hama tetapi ada kekuatan yang Maha Kuatt, yaitu kekuatan Adikodrati.
Pandangan dunia Jawa sebagai wujud kepercayaannya terhadap Adikodrati (Allah), mereka bersikap hormat kepada nenek moyangnya. Mereka mengunjungi makam nenek moyangnya untuk mohon berkah (disamping berdoa) dan juga dalam menghadapi segala persoalan hidup. Orang Jawa menganggap dunia sebagai tempat sumber kesejahteraan. Siapapun dapat meraihnya tergantung dari keberhasilannya dalam menyesuaikan diri dengan roh angker. Supaya dapat menarik simpati kekuatan angker (roh-roh berkenan kepadanya), maka pada waktu-waktu tertentu dan tempat-tempat tertentu dipasang sesajen. Sesajen terdiri dari sekedar makanan kecil dan bunga yang diletakkan di dalam rumah, kebun dan dipinggir sawah. Doa-doa yang dilafalkan berbentuk bahasa Jawa dan Arab untuk memperoleh perlindungan dari yang mbaureksa.
Khas orang Jawa untuk pekerjaan (gawe) juga berarti pesta. Diperkirakan pada zaman dulu bagi orang Jawa terdapat hubungan erat antara pekerjaan, pesta dan ibadat. Ritual religius yang dilakukan oleh masyarakat Jawa adalah slametan, sebab slametan dilakukan hampir pada semua peristiwa penting dalam hidup, yaitu pada waktu kehamilan, kelahiran,perkawinan, kematian, menanam padi, panen, bahkan sampai dengan peristiwa naik pangkat. Pendek kata pada setiap kesempatan.
Slametan terdiri dari sekedar makan bersama dengan mengundang para tetangga, umumnya laki-laki, dengan doa oleh modin. Yang hadir menyantap nasi tumpeng, dan sisanya dibawa pulang untuk diberkat (nasi yang mengandung barakah). Ternyata menurut pandangan dunia Jawa slametan itu untuk merekatkan kerukunan, keselarasan, untuk mewujudkan ketentraman dan kekuatan gotong-royong.
D. Pandangan Dunia Jawa Tentang Kekuasaan
Pandangan dunia Jawa melihat pada latar belakang paham kekuasaan yang disimbolkan seorang raja (ratu). Raja adalah seorang figur yang dapat memusatkan suatu takaran kekuatan kosmis yang besar dan merupakan seorang yang sakti. Seorang raja bagaikan lautan, yang dapat menampung seluruh air dari manapun. Kekuatan kosmis seorang raja sering digambarkan sebagai sebuah lensa yang dapat memusatkan cahaya matahari ke bumi. Sakti dan tidak saktinya seorang raja juga dapat dilihat dan diukur pada besar kecilnya monopoli kekuasaan yang dipegangnya. Jadi semakin luas wilayahnya semakin besar pula kekuatan dalam kerajaannya yang berasal dari kekuatan kosmis.
Menurut pandangan dunia Jawa, bila raja semakin sakti, maka keadaan akan semakin tenang dan sejahtera. Tidak ada musuh dari luar, atau kekacauan yang berani mengganggu karena daya pengacau dari pihak-pihak yang berbahaya seolah-olah dapat dihisab kedalam diri raja. Kekuatan dan kekuasaan raja dapat pula digambarkan oleh kesuburan tanah dan keteraturan tatanan masyarakat sehingga akan terwujud masyarakat adil makmur, tata titi, tentrem, dan gemah ripah karta raharja. Bila musim panen berlimpah ruah, semua penduduk hidup serba berkecukupan, maka akan tentram damai.
Namun sebaliknya bila ada gejala alam yang tidak bersahabat, adanya bencana, wabah penyakit, wabah penyakit, hama tikus dan wereng dapat diartikan sebagai kemunduran kasekten raja sebagai penguasa yang berarti kemampuannya surut, bahkan lepas dari pusat kekuasaan Adikodrati. Tanda kekuasaan yang sebenarnya ialah penguasa dapat mewujudkan keadaan yang sejahtera, adil, tentram serta keselarasan dalam alam dan masyarakat tanpa gangguan, rasa puas dari rakyat, tanpa susah payah dan tanpa paksaan. Jadi, seorang raja (penguasa) dikatakan benar-benar berkuasa apabila segalanya seakan-akan terjadi dengan sendirinya.
Sikap tenang, menurut pandangan dunia Jawa dapat menggambarkan betapa eratnya sifat kekuatan batin seorang penguasa yang memiliki budi halus, lembut hati dan perasaan, luwes sopan, beradab dan peka. Sifat kehalusan yang dimiliki oleh seorang penguasa dapat menunjukkan bahwa penguasa dapat mengontrol diri secara sempurna lewat kekuatan batinnya.
Kekuasaan merupakan hasil kemampuan untuk memusatkan kekuatan kosmis dalam diri, maka seorang raja dapat kehilangan kekuasaan apabila sudah kehilangan kemampuan pemusatan. Tanda-tanda kekuasaan mulai ambrol ialah kekacauan, adanya pemberontakan, rasa tidak puas dari rakyat, kebejatan moral merajalela, serta bencana alam silih berganti. Kekuasaan bagi orang Jawa bukan hasil kekayaan, pengaruh, relasi, kekuatan fisik, kepintaran, atau keturunan. Kekuasaan hanya dapat dimiliki dengan pemusatan tenaga kosmis. Menurut pandangan Jawa tenega itu tidak dapat begitu saja diambil, melainkan harus diberi, melalui semacam pengalaman panggilan.
Namun, bukan berarti bahwa kekuasaan sama sekali tidak dapat diusahakan. Dalam tradisi Jawa ada cara untuk memusatkan kasekten, kekuasaan kosmis, dalam diri, dengan uasaha sekuat tenaga, yaitu puasa (tapa), mengurangi makan, tidur, seksual dan semadi. Tempat yang cocok untuk semadi adalah puncak gunung, gua di hutan dan sungai.
Apabila seseorang sudah menjadi raja, ia akan berusaha untuk terus memperbesar kekuasaanya. Akan mengumpulkan semua potensi magis yang terdapat dalam wilayah kekuasaanya, seperti benda-benda keramat, terutama pusaka kerajaan yang berupa keris, tombak dan gamelan. Raja tersebut masih ingin dikelilingi oleh manusia-manusia linuwih yang dianggap keramat, seperti dukun-dukun dan resi. Kecuali itu, raja-raja mengunjungi makam-makam raja terdahulu, candi-candi dan tempat-tempat xiarah dalam kerajaan. Hal ini berasal dari mitos bahwa raja yang bersangkutan akan memperoleh kekuatan adikodrati dari raja-raja yang telah meninggal.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kehidupan masyarakat Jawa penuh dengan tradisi, baik tradisi-tradisi yang berkaitan dengan lingkungan hidup manusia sejak dari keberadaannya dari perut ibu, lahir, kanak-kanak, remaja, dewasa sampai dengan kematiannya. Hal ini dikarenakan masyarakat adalah kesatuan hidup dari makhluk-makhluk manusia yang terikat oleh suatu sistem adat istiadat. Lingkungan orang Jawa pun erat dengan kegiatan ritual yang bernuansakan Islam.
Dalam tradisi Jawa terdapat berbagai jenis barang yang dikeramatkan yang disebut azimat, pusaka, keris, ikat kepala, dan lain-lain. Manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan tertentu dipandang sebagai suci, keramat, dan bertuah. Barang-barang ataupun orang-orang keramat itu dipandang sebagai penghubung (wasilah) dengan Sang Pencipta. Orang Jawa percaya tempat-tempat yang baik, hari bulan, dan tahun yang membawa kepada nasib baik itu perlu dicari dan ditentukan dengan cara-cara yang magis. Orang Jawa juga percaya bahwa arwah orang-orang tua sebagai nenek moyang yang telah meninggal dunia berkeliaran di sekitar tempat tinggalnya. Gaya hidup orang Jawa cenderung pada kebatinan sebagai budaya untuk mengatasi alam material dengan kekuatan ghaib (okultis).
Pandangan dunia jawa tentang kehidupan mengatakan bahwa antara masyarakat dan alam merupakan lingkup kehidupan orang Jawa sejak lahir. Manusi hidup tak terpisahkan dari kekuatan Adikodrati yang mengisyarakatkan bahwa siapapun yang ingin hidup bahagia, selain tidak lupa kepada yang Adikodrati, harus pula rukun, gotong-royong dan diaktualisasikan dengan mengadakan slametan dalam segala langkah pekerjaan.
Kekuatan kekuasaan terletak pada penguasa (raja), sebab raja dianggap mempunyai kekuatan kosmis. Tanda kekuasaan yang sebenarnya ialah penguasa dapat mewujudkan keadaan yang sejahtera, adil, tentram serta keselarasan dalam alam dan masyarakat tanpa gangguan, rasa puas dari rakyat, tanpa susah payah dan tanpa paksaan. Jadi, seorang raja (penguasa) dikatakan benar-benar berkuasa apabila segalanya seakan-akan terjadi dengan sendirinya.
B. Kritik dan Saran
Demikian makalah yang telah kami susun, semoga dapat memberikan manfaat bagi pembaca. Berdasarkan uraian diatas dapat kita pahami bahwa pandangan dunia Jawa menimbulkan beragam tradisi yang ada pada masyarakat Jawa, sebagai masyarakat Indonesia yang hidup dalam beragam tradisi hendaknya kita saling menghargai pandangan masing-masing individu maupun masyarakat yang telah menjadi kepercayaan maupun pedomannya dalam menjalani hidup. Kami selaku penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam pembuatan makalah yang telah Kami susun.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Darori. 2000. Islam Dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Gama Media.
Elizabeth, Misbah Zulfa. 2004. Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa. Yogyakarta: Gama Media.
Jamil, Abdul dkk. 2000. Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Gama Media.
Khalim, Samidi. 2008. Islam dan Spiritualitas Jawa. Semarang: RaSAIL Media Group.
Koentjaraningrat. 1996. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Syam, Nur. 2005. Islam Pesisir. Yogyakarta: LKiS Aksara.
Terima kasih telah membaca artikel ini & dipublikasikan oleh Kumpulan Makalah
0 komentar:
Post a Comment
» Gunakan Bahasa yang baik.
» Komentar yang tidak sesuai akan dihapus.