PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk berbudaya. Eksistensi manusia didunia ditandai dengan upaya tiada henti-hentinya untuk menjadi manusia, upaya ini berlangsung dalam dunia ciptaannya sendiri yakni kbudayaan. Kebudayaan menempati posisi sentral dalam seluruh tatanan hidup manusia. Seluruh bangunan hidup manusia dan masyarakat berdiri diatas landasan kebudayaan.
Meskipun dalam perkembangannya kehidupan orang jawa telah mengalami pergeseran budaya sejak zama prasejarah, Hindu/ Budha, Islam, kolonialisme, tetapi hingga sekarang peradaban yang bercorak jawa masih mengental dikalangan orang Jawa. Dalam arti, meskipun kebudayaan Jawa bercampur dengan agama lain (Hindu, Budha, Islam, dan sebagainya), tetapi roh, figur, dan kenyataankebudayaan Jawa masih terlihat jelas.
Meskipun dalam perkembangannya kehidupan orang jawa telah mengalami pergeseran budaya sejak zama prasejarah, Hindu/ Budha, Islam, kolonialisme, tetapi hingga sekarang peradaban yang bercorak jawa masih mengental dikalangan orang Jawa. Dalam arti, meskipun kebudayaan Jawa bercampur dengan agama lain (Hindu, Budha, Islam, dan sebagainya), tetapi roh, figur, dan kenyataankebudayaan Jawa masih terlihat jelas.
A. Bagaimana masa pra sejarah Jawa?
B. Bagaimana kepercayaan animisme jawa?
C. Bagaimana kepercayaan dinamisme jawa?
PEMBAHASAN
A. Masa Pra Sejarah Jawa
Kiranya kurang lebih tiga ribu tahun sebelum Masehi gelombang pertama imigran Melayu yang berasa dari Cina selatan mulai membnajiri Asia Tenggara, disusul oleh beberapa gelombang lagi selama dua tahun berikut. Orang Jawa dianggap keturunan dari orang-orang Melayu gelombang berikut itu. Orang Melayu itu hidup dari pertanian, mereka sudah mengenal persawahan. Dengan demikian bentuk organisasi desa mereka sudah relatif tinggi.
Diperkirakan bahwa sebelum kedatangan agama Hindu, pemimpin-pemimpin lokal di Jawa telah menciptakan lembaga – lembaga politik pertama diatas tingkat desa, juga karena keperluan pengaturan pengairan sentral.[1]
Masyarakat jawa atau suku bangsa jawa secara kultural adalah orang-orang yang hidup kesehariannya menggunakan bahasa Jawa dengan berbagai dialeknya secara turun temurun. Masyarakat Jawa adalah mreka yang bertempat tinggal di pulau Jawa, khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur atau mereka yang berasal dari kedua daerah tersebut.
Secara geografis, suku bangsa jawa mendiami tanah jawa yang meliputi wilayah Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun Kediri, dan Malang. Sedangkan diluar wilayah tersebut dinamakan pesisir dan ujung timur. Surakarta dan Yogyakarta yang merupakan bekas kerajaan Mataram abad ke 16 adalah pusat dari kebudayaan jawa.[2]
Nenek moyang suku bangsa jawa tidak berbeda dari suku-suku bangsa Indonesia lainnya yang menempati semenanjung Malaka, Kalimantan, Sumatra, dan Jawa. Ciri menonjol dari struktur masyarakat Jawa adalah didasarkan pada aturan-aturan hukum adat serta religinya, yaitu animisme dan dinamisme yang merupakan inti kebudayaan dan mewarnai seluruh aktifitas kehidupan masyarakat. Hukum adat sebagai norma yang mengikat kehidupan mereka begitu kuat sehingga masyarakat bersifat statis dan konservatif.
Selain ciri diatas masyarakat Jawa juga memiliki ciri lain, yakni kuatnya ikatan solidaritas sosial dan hubungan pertalian darah. Dalam masyarakat Jawa, pendewaan dan permitosan terhadap ruh nenek moyang melahirkan penyembahan ruh nenek moyang yang pada akhirnya melahirkan hukum adat dan relasi-relasi pendukungnya. Dengan upacara-upacara selatan, ruh nenek moyang menjadi sebentuk dewa pelindung bagi keluarga yang masih hidup. Selain itu seni pewayangan dan gamelan dijadikan sebagai sarana upacara ritual keagamaan untuk mendatangkan roh nenek moyang. Dalam tradisi ritual ini, fumgsi roh nenek moyang ini dianggap sebagai “pengamong dan pelindung” keluarga yang masih hidup.
Dalam lakon wayang, ruh nenek moyang dipersembahkan dalam bentuk punokawan. Agama asli mereka adalah apa yang antropolog disebut sebagai religion magic.[3] Dan merupakan sistem budaya yang mengakar kuat dalam masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa. Keberadaan ruh dan kekuatan gaibdipandang sebagai Tuhan yang dapat menolong ataupun sebaliknya dapat mencelakakan.
Di daerah jawa telah ada agama-agama atau kepercayaan asli, seperti Sunda Wiwitan yang dipeluk oleh masyarakat Sunda di Kanekes, Lebak, Banten; Sunda Wiwitan aliran Madrais, juga dikenal sebagai agama Cigugur (dan ada beberapa penamaan lain) di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat; agama Buhun di Jawa Barat; Kejawen di Jawa Tengah dan Jawa Timur, agama-agama asli jawa tersebut didegradasi sebagai ajaran animisme, penyembah berhala / batu atau hanya sebagai aliran kepercayaan. Oleh karena itu, W Roberston Smith menyatakan bahwa upacara religi yang biasa dilakukan masyarakat pada waktu itu berfungsi sebagai motivasi yang dimaksudkan tidak hanya untuk berbakti kepada dewa ataupun untuk mencari kepuasan batiniyah yang bersifat individual saja, tetapi juga karena mereka menganggap melaksanakan upacara agama adalah bagian dari kewajiban sosial.[4]
Dalam kehidupan orang Jawa, hidup ini penuh dengan upacara. Baik upacara yang berkaitan dengan lingkaran hidup manusia sejak lahir sampai mati, ataupun upacara yang berkaitan dengan seputar lingkungan hidup manusia. Upacara – upacara tersebut biasa disebut dengan selametan atau wilujengan. Selametan ini merupakan unsur Jawa sebelum Islam masuk ke tanah Jawa. Ketika Islam datang unsur pra-Islam yang berupa kepercayaan animisme, dinamisme dan pengaruh Hindu-Budha sudah mengakar kuat dalam masyarakat Jawa, sehingga sulit untuk menghilangkannya.
B. Kepercayaan Animisme Jawa
1. Pengertian animisme
Animisme adalah pemahaman yang menyatakan bahwa setiap gerakan, kekuatan dan kejadian di alam ini disebabkan oleh makhluk-makhluk yang ada di sekitarnya.Keyakinan animisme dalam masyarakat terbagi dalam dua macam yaitu fetitisme dan spiritisme. Fetitisme adalah pemujaan kepada benda-benda berwujud yang tampak memiliki jiwa atau roh, sedangkan spiritisme adalah pemujaan terhadap roh-roh leluhur dan makhluk ghoib lainnya yang ada di alam ini.[5]
Ada juga yang mengatakan animisme adalah suatu kepercayaan tentang adanya roh pada benda-benda, tumbuh-tumbuhan, hewan bahkan pada manusia itu sendiri. Mereka menganggap roh-roh itu mempunyai kekuatan yang melebihi kekuatan manusia, sehingga mereka menyembahnya dengan cara melakukan upacara yang disertai dengan penyajian sesaji. Pertama, pelaksanaan upacara dilaksanakan masyarakat jawa adalah agar keluarganya terhindar dari roh yang jahat. Arwah nenek moyang dianggap lebih sakti dan banyak pengalaman, sehingga mereka beranggapan perlu dimintai petunjuk dan berkah. Sebagai kelengkapan upacara mereka menyiapkan sesaji serta membakar kemenyan atau bau-bauan lainnya. Kedua, pemberian sesaji atau sesajen yang ditujukan kepada mbahe, danyang yang berdiam di pohon-pohon besar atau di sendang-sendang, di kuburan tua dari tokoh-tokoh terkenal pada masa lampau atau tempat tersebut merupakan tempat yang dianggap angker. Agar dapat menarik roh-roh tersebut mereka memasang sesaji berupa makanan dan bunga. Semua itu dilakukan hanya memohon perlindungan dari yang mbahureksa supaya terhindar dari makhluk halus yang jahat.[6]
2. Praktik kegiatan animisme
Dalam teori animisme pertama di kemukakn oleh seorang antropologi “Edward Burnat” (1832- 1917) di dalam bukunya primitive Culture. Disebutkan bahwa paham manusia primitif yakni, roh manusia yang telah mati akan pindah ke tubuh binatang, pohon besar, batu besar, serta akan hidup di gunung dan sebagainya. Namun para penganut animisme ini adalah manusia yang tersesat yang menemukan jalan yang semestinya. Allah SWT bukanlah roh sebagaimana anggapan mereka, tetapi Allah adalah pencipta semua benda- benda, tumbuhan, binatang, serta seisi dunia ini.[7]
Keyakinan semacam itu terus terpelihara dalam tradisi dan budaya masyarakat Jawa, bahkan hingga saat ini masih dapat disaksikan berbagai ritual yang jelas merupakan peninggalan zaman tersebut. Keyakinan yang demikian dalam kepustakaan budaya disebut dengan “kejawen”, yaitu keyakinan atau ritual campuran antara agama formal dan keyakinan yang mengakar kuat di kalangan masyarakat jawa. Sebagai contohnya, banyak orang yang menganut agama Islam, tapi dalam prakteknya keberagamaannya tidak meninggalkan keyakinan warisan nenek moyang mereka. Hal itu bisa saja karena pengetahuan mereka yang dangkal terhadap Islam.[8]
3. Ayat- ayat al-qur’an tentang teori animisme
Allah berfiman dalam Qs. Al-an’am :60
“Tuhan telah mematikan (memenidurkan) engkau di waktu malam, dan Dia mengetahui apa yang engkau perbuat pada siang hari. Kemudian Dia membangkitkan engkau pada hari kiamat , agar men jalani masa yang telah di tentukan kemudian kepada Allah-lah kami kembali, lalu dia memberitahukan kepada apa yang dahulu kamu kerjakan.”
Jika teori animisme di masukkan dalam terminologi agama dengan pengertian objectif, yaitu agama dalam segala apa yang di percayai, maka mempercayai segala nyawa berarti mempecayai segala Tuhan. Jadi kalau demikian artinya, maka animisme berarti mempunyai tuhan banyak.
C. Kepercayaan Dinamisme Jawa
1. Pengertian Dinamisme
Perkataan dinamisme berasal dari kata yang terdapat dalam bahasa Yunani, yaitu, dunamos dan diinggriskan menjadi dynamic yang umumnya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kekuatan, kekuasaan atau khasiat dan dapat juga diterjemahkan dengan daya.
Selanjutnya dinamisme ada yang mengartikan dengan sejenis paham dan perasaan keagamaan yang terdapat diberbagai bagian dunia, paada berjenis-jenis bangsa dan menunjukkan banyaknya persamaan-persamaan. Demikian Honig mengartikannya. Dr. Harun Hasution tidak mendefinisikan dinamisme secara tegas hanya menerangkan bahwa bagi manusia primitif, yang tingkat kebudayaannya masih rendah sekali, tiap-tiap benda yang berada di sekelilingnya bisa mempunyai kekuatan batin yang misterius.
Dalam ensiklopedi umu dijumpai definisi dinamisme sebagai kepercayaan keagamaan primitif pada zaman sebelum kedatangan agaman Hindu di Indonesia. Dinamisme disebut juga preanismisme, yang mengajarkan bahwa tiap-tiap benda atau makhluk mempunyai kekuatan (percaya adanya kekuatan yang maha yang berada dimana-mana).
2. Kegiatan Dinamisme
Dalam kepercayaan dinamisme, masyarakat jawa mempercayai bahwa apa yang telah mereka bangun adalah hasil dari adaptasi pergulatan dengan alam kekuatan alam disadari merupakan penentuan dari kehidupan sebelumnya keberhasilan pertanian tergantung dari kekuatan alam matahari, hujan, angin, dan hama, tetapi mereka masih mempercayai kekuatan adikodrati dibalik semua kekuatan itu. Selanjutnya sebagai peninggalan sisa masa lalu adalah melakukan tindakan keagamaan dengan berusaha untuk menambah kekuatan batin agar dapat mempengaruhi kekuatan alam semesta atau jagat gede.[9]
Usaha yang paling berat adalah melakukan pati geni. Yaitu tindakan tidak makan, tidak minum dan tidak melihat sinar apapun selama empat puluh hari empat puluh malam. Untuk menambah kekuatan batin tersebut menggunakan benda-benda bertuah atau berkekuatan gaib yang di sebut jimat, yakni berupa keris, tombak, songsong jerne, batu akik, akar bahar, dan kuku macan. Tindakan keagamaan tersebut adalah sisa-sisa kepercayaan zaman dinamisme.[10]
Budaya jawa sudah ada sejak zaman prasejarah, sejak masyarakat jawa itu sendiri ada, dengan budaya yang bertumpu pada religi animisme-dinamisme. Dasar pemikiran religi animisme-dinamisme yaitu adanya kepercayaan tentang kekuatan atau energi yang mendiami benda-benda (keramat) dan adanya roh-roh halus (termasuk arwah para leluhur) yang menempati alam sekeliling mereka.[11]
PENUTUP
A. Kesimpulan
Masyarakat jawa adalah orang-orang yang hidup kesehariannya menggunakan bahasa Jawa dengan berbagai dialeknya secara turun temurun. Masyarakat Jawa adalah mereka yang bertempat tinggal di pulau Jawa.
Animisme adalah pemahaman yang menyatakan bahwa setiap gerakan, kekuatan dan kejadian di alam ini disebabkan oleh makhluk-makhluk yang ada di sekitarnya.
Perkataan dinamisme berasal dari kata yang terdapat dalam bahasa Yunani, yaitu, dunamos dan diinggriskan menjadi dynamic yang umumnya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kekuatan, kekuasaan atau khasiat dan dapat juga diterjemahkan dengan daya. Dinamisme disebut juga preanismisme, yang mengajarkan bahwa tiap-tiap benda atau makhluk mempunyai kekuatan.
B. Kritik dan Saran
Demikianlah makalah yang telah penulis susun, semoga bermanfaat, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan agar makalah penulis yang kedepannya bisa lebih baik. Dan penulis memohon maaf apabila terdapat banyak kekurangan dan kesalahan dalam penyusunan makalah ini.
Referensi
[1] Frans Magnis Suseno, Etika Jawa, Jakarta : PT Gramedia Pustaka, 2003, hlm. 22.
[2] Sutiyono, Poros Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013, hlm. 1.
[3] Shodiq, Potret Islam Jawa, Semarang: Pustaka Zaman, 2013, hlm. 6.
[4] Shodiq, Potret Islam Jawa, Semarang: Pustaka Zaman, 2013, hlm. 7
[5]Samidi Khalim, Islam dan Spiritualitas Jawa, Semarang: Rasail Media Group, 2008, hlm. 45
[6].Darori Amin, Islam & Kebudayaan Jawa, Semarang: Gama Media, 2000, hlm. 5.
[7] Shodiq, Potret Islam Jawa, Semarang: Pustaka Zaman, 2013, hlm 8.
[8]Shodiq, Potret Islam Jawa, Semarang: Pustaka Zaman, 2013, hlm 11-12.
[9] Drs. H. Shodiq, M.Ag, Potret Islam Jawa, Semarang: Pustaka Zaman, 2013, hlm. 13-14
[10] Abdul Jamil dkk, Islam Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, -, hlm. 9-10
[11] Samidi Khalim, M.Ag, Islam dan Spiritualitas Jawa, Semarang: RaSAIL Media Group, 2008, hlm.45
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Darori, Islam & Kebudayaan Jawa, Semarang: Gama Media, 2000
Jamil, Abdul dkk, Islam Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media,
Khalil,Ahmad, Islam Jawa Sufisme Etika dan Tradisi Jawa, Malang: Sukses offset, 2008
Khalim, Samidi, M.Ag, Islam dan Spiritualitas Jawa, Semarang: RaSAIL Media Group, 2008
Shodiq, Potret Islam Jawa, Semarang: Pustaka Zaman, 2013
Suseno, Frans Magnis, Etika J awa, Jakarta : PT Gramedia Pustaka, 2003
Sutiyono, Poros Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013
Terima kasih telah membaca artikel ini & dipublikasikan oleh Kumpulan Makalah
0 komentar:
Post a Comment
» Gunakan Bahasa yang baik.
» Komentar yang tidak sesuai akan dihapus.