Home » » Ayat-ayat tentang Sejarah dan Kisah

Ayat-ayat tentang Sejarah dan Kisah

Posted by Kumpulan Makalah on 19 Feb 2016

PENDAHULUAN
Kisah-kisah dalam Al-Qur'an menjadi bagian tak terpisahkan dari isi Al-Qur'an yang menjadi referensi utama bagi orang-orang umat Islam. Al-Qur’an menganjurkan untuk mempelajari dan memahami sejarah karena sejarah yang dilakukan manusia di masa lalu dinilai sebagai bahan berharga yang patut dipelajari dan ditelaah secara seksama untuk diambil pelajaran dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian sejarah tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan manusia karena manusia membuat sejarah dan manusiapun butuh pada sejarah.
Al-Qur’an dengan fungisi utamanya memberikan petunjuk bagi kehidupan manusia agar berjalan di atas ketentuan yang benar telah pula memanfaatkan sejarah. Al-Qur’an telah banyak mendorong manusia agar memperhatikan perjalanan umat masa lalu agar diambil pelajaran dan hikmahnya untuk kehidupan selanjutnya. Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi misalnya menginformasikan, bahwa di dalam al-Qur’an tidak kurang sebanyak 7 kali.[1] Allah SWT menyuruh manusia untuk mempelajari kehidupan umat masa lampau.

Keterangan tentang sejarah dan kisah umat terdahulu didalam kitab Al-Qur’an tentunya memiliki tujuan yaitu sebagai petunjuk dan pelajaran bagi umat islam yang selanjutnya supaya dapat diambil hikmah dari peristiwa yang sudah terjadi dimasa lalu. Sehingga dimasa sekarang umat manusia khususnya umat islam tidak terjerumus kedalam hal-hal yang menyesatkan, terlebih lagi dapat mendatangkan azdab Allah SWT.

Oleh karena itu, pemakalah akan memaparkan tafsir ayat-ayat tentang sejarah dan kisah agar dapat kita ambil hikmahnya.


RUMUSAN MASALAH
A. Apa pengertian sejarah dan kisah dalam Al-Qur’an?
B. Bagaiman Konsep sejarah dalam Al-Qur’an?
C. Bagaimana Hukum-hukum sejarah dalam Al-Qur’an?
D. Bagaimana tafsir ayat-ayat tentang sejarah dan kisah?
E. Apa fungsi sejarah dalam Al-Qur’an bagi kehidupan manusia

PEMBAHASAN
A. Pengertian Kisah
Secara leksikal al-qishah diambil dari kata “qashsha-yaqushshu” yang berarti menceritakan. Al-Qishshah sama dengan al-hadis yang artinya cerita, sedangkan al-qishsah sebagai salah satu bentuk sastra yang dalam bahasa Indonesia disebut cerpen atau novel, didefinisikan sebagai media untuk mengungkapkan kehidupanatau fragmen-fragmennya yang menyangkut suatu peristiwa atau sejumlah peristiwa yang terkait satu sama lainnya.

Yang dimaksud al-Qishshah dalam Al-Qur’an adalah sejarah umat terdahulu serta para nabi dan orang-orang saleh yang berjuang menegakkan kebenaran. Dengan kata lain , kisah dalam Al-Qur’an secara umum memiliki dua kategori :
  1. Cerita para nabi atau orang-orang saleh
  2. Cerita para penentang kebenaran yang di bawa nabi.[2]
B. Konsep sejarah dalam Al-Qur’an
Konsep sejarah dalam Al-Qur’an adalah untuk mempelajari sunnah, yakni kebiasaan-kebiasaan atau ketetapan ilahi dalam masyarakat, sehingga tidak mengalami perubahan bagi umat manusia. Pada konsep ini manusia diharapkan dapat memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang terdahulu, sehingga mereka dapat mengambil pelajaran dari tingkah laku dan perbuatan orang-orang terdahulu melalui pengamatan langsung, penelitian peninggalan sejarah, atau media-media yang lain. Dari perjalanan ini dapat diketahui berbagai peninggalan umat terdahulu. Diantara mereka itu ada yang memperoleh kejayaan dan ada pula yang mengalami kerugian, penderitaan, kesengsaraan akibat kerusakan atau bencana yang menimpa mereka. Ada juga yang beriman dan taat beribadah kepada Allah, tetapi ada pula yang kafir, munafik, dan fasik. Orang-orang yang ditimpa bencana itu kebanyakan orang-orang yang musyrik.[3]

C. Hukum-Hukum Sejarah Dalam Al-Qur’an
Hukum-hukum sejarah dalam Al-Qur’an ini terdapat pada Sunnatullah/ hukum-hukum kemasyarakatan, tidak ubahnya hukum-hukum alam atau hukum yang berkaitan dengan materi. Apa yang ditegaskan Al-Qur’an ini dikonfirmasikan oleh ilmuwan: “Hukum-hukum alam, sebagaimana hukum-hukum kemasyarakatan bersifat umum dan pasti, tidak satu pun, di negeri manapun yang dapat terbebaskan dari sanksi bila melanggarnya. Hukum-hukum itu, tidak memperingatkan siapa yang melanggarnya, dan saksinya pun membisu sebagaimana membisunya hukum itu sendiri. Masyarakat dan manusia yang tidak dapat membedakan antara yang haram dan yang halal akan terbentur malapetaka, ketercabikan, dan kematian. Ini semata-mata adalah sanksi otomatis, karena kepunahan adalah akhir dari semua mereka yang melanggar hukum-hukum alam/kemasyarakatan”.

Demikian juga terlihat bahwa kitab suci adalah kitab pertama yang mengungkap adanya hukum-hukum yang mengatur kehidupan masyarakat. Tidak heran hal tersebut diungkap Al-Qur’an, karena kitab suci itu berfungsi untuk mengubah masyarakat dan mengeluarkan anggotanya atau sekelompok orang, dari kegelapan menuju ke jalan yang terang benderang (ke jalan Allah) dari kehidupan negatif menuju kehidupan positif. Dan memang Al-Qur’anlah yang menerangkan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta peringatan bagi orang-orang yang bertakwa.[4]

D. Tafsir ayat-ayat tentang sejarah dan kisah
1. Q.S. Yusuf: 111
لَقَدۡ كَانَ فِي قَصَصِهِمۡ عِبۡرَةٞ لِّأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِۗ مَا كَانَ حَدِيثٗا يُفۡتَرَىٰ وَلَٰكِن تَصۡدِيقَ ٱلَّذِي بَيۡنَ يَدَيۡهِ وَتَفۡصِيلَ كُلِّ شَيۡءٖ وَهُدٗى وَرَحۡمَةٗ لِّقَوۡمٖ يُؤۡمِنُونَ ١١١
Artinya: Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (Q.S. Yusuf : 111)

Tafsir Ayat
Pada ayat ini, Allah SWT menerangkan bahwa semua kisah nabi-nabi, terutama Nabi Yusuf AS bersama ayah dan saudara-saudaranya, adalah pelajaran bagi orang-orang yang memiliki akal. Sedangakan orang-orang yang lalai yang tidak menggunakan akal pikirannya untuk memahami kenyataan yang ada, maka kisah nabi tersebut tidak akan bermanfaat baginya.[5] Al-Qur’an yang mengandung kisah-kisah mereka bukanlah cerita yang dibuat-buat, sebagaimana dituduhkan oleh mereka yang yang tidak percaya. Akan tetapi kitab suci itu membenarkan kitab-kitab suci dan peristiwa-peristiwa yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu dalam bentuk prinsip-prinsip yang dibutuhkan umat manusia menyangkut maslahat dunia dan akhirat mereka, dan di samping itu ia juga sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang ingin beriman.[6]

2. Q.S. Thaha: 99
كَذَٰلِكَ نَقُصُّ عَلَيۡكَ مِنۡ أَنۢبَآءِ مَا قَدۡ سَبَقَۚ وَقَدۡ ءَاتَيۡنَٰكَ مِن لَّدُنَّا ذِكۡرٗا ٩٩
Artinya: Demikianlah kami kisahkan kepadamu (Muhammad) sebagian kisah umat yang telah lalu, dan sesungguhnya telah Kami berikan kepadamu dari sisi Kami suatu peringatan (Al Quran) (Q.S. At-Thaha: 99)

Tafsir Ayat
Pada ayat ini Allah menjelaskan kepada Nabi Muhammad SAW bahwa kisah-kisah yang diberitakan pada ayat-ayat yang lalu seperti kisah Musa AS bersama Firaun dan Samiri itu, demikian pula kisah-kisah nabi sebelunya patut menjadi contoh dan teladan baginya dalam menghadapi kaumnya yang ingkar dan sangat durhaka. Karena memang demikianlah keadaan setiap rasul walaupun telah diturunkan kepadnya kitab-kitab dan mu’jizat-mu’jizat untuk menyatakan kebenaran dakwahnya, namun kaumnya tetap saja ingkar dan berusaha sekuat tenaga menentang seruannya dan tetap memusuhi bahkan ingin membunuhnya untuk melenyapkannya sehingga tidak terdengar lagi suara kebenaran yang disampaikannya.[7]

Munasabah
Pada ayat-ayat yang lalu Allah telah menerangkan kisah Nabi Musa a.s. bersama Fir’aun dan Samiri, dua pemimpin yang kafir dan durhaka, ini merupakan pengalaman pahit yang biasa diderita oleh setiap Rasul dan orang-orang yang berusaha menegakkan kebenaran dan meninggalkan kalimah Allah. Maka pada ayat-ayat ini Allah menerangkan kepada Nabi Muhammad SAW kisah para Nabi sebelumnya sebagai peringatan bagi umat manysia dan hiburan yang bisa melenyapkan kesedihan yang bersemi dalam hati Nabi karena sikap kaumnya yang tetap saja ingkar dan tidak mau menerima petunjuk-petunjuk Allah yang telah disampaikannya, ditambah lagi dengan penganiayaan dan cemoohan yang dilontarkan mereka atas dirinya. Jadi apa yang diderita oleh Nabi Muhammad SAW dalam menyampaikan risalah-Nya telah dirasakan pula oleh nabi-nabi dan rasul-rasul sebelumnya.[8]

3. Q.S. Ali Imron : 137
قَدۡ خَلَتۡ مِن قَبۡلِكُمۡ سُنَنٞ فَسِيرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَٱنظُرُواْ كَيۡفَ كَانَ عَٰقِبَةُ ٱلۡمُكَذِّبِينَ ١٣٧
Artinya: Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah; Karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul) (Q.S. Al-imran 137)

Tafsir Ayat
Ayat ini berisi tentang perintah untuk memperhatikan bagaimana keadaan orang-orang terdahulu dan kesudahan mereka. Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah, yakni hukum-hukum kemasyarakatan yang tidak mengalami perubahan. Sunnah tersebut antara lain adalah “yang melanggar perintah-Nya dan perintah Rasul-Nya akan binasa, dan yang mengikuti-Nya akan berbahagia”. Yang menegakkan disiplin akan sukses. Hari-hari kekalahan dan kemenangan silih berganti dan lain-lain. Sunnah-sunnah itu ditetapkan Allah demi kemaslahatan manusia, dan itu semua dapat terlihat dengan jelas dalam sejarah dan peninggalan umat-umat terdahulu, melalui bacaan atau pelajaran sejarah, karna itu, berjalanlah kamu di bumi untuk melihat bukti-buktinya dan perhatikanlah untuk mengabil pelajaran bagaimana kesudahan buruk yang dialami orang-orang yang mendustakan pesan-pesan Allah. Ini, yakni pesan-pesan yang dikandung oleh semua ayat-ayat yang lalu atau Al-Qur’an secara keseluruhan adalah penerangan yang memberi keterangan dan menghilangkan kesangsian serta keraguan bagi seluruh manusia.[9]

Ayat ini mengingatkan tentang sunnatullah, yakni hukum-hukum kemasyarakatan yang ditetapkan oleh Allah SWT dan yang telah berlaku terhadap umat-umat terdahulu, dan bahwa sunnatullah yang dijelaskan itu berlaku bagi semua umat manusia,tanpa membedakan suku, ras, dan agama.[10]

4. Q.S. Al- Isra’ : 77
سُنَّةَ مَن قَدۡ أَرۡسَلۡنَا قَبۡلَكَ مِن رُّسُلِنَاۖ وَلَا تَجِدُ لِسُنَّتِنَا تَحۡوِيلًا ٧٧
Artinya: (Kami menetapkan yang demikian) sebagai suatu ketetapan terhadap rasul-rasul Kami yang Kami utus sebelum kamu dan tidak akan kamu dapati perubahan bagi ketetapan Kami itu. (Q.S. Al-Isra’: 77)

Munasabah
Dalam ayat-ayat yang lalu, Allah SWT menjelaskan keingkaran manusia yang tidak mau beriman padahal nikmat Allah begitu besar, baik yang terdapat di alam raya maupun yang terdapat pada dirinya, padahal fitrah manusia itu beragama tauhid. Hal ini tampak ketika mereka ditimpa malapetaka yang dahsyat, mereka memohon perlindungan hanya kepada Allah. Akan tetapi, setelah terlepas dari malapetaka itu, mereka tidak mau berterimakasih pada Zat yang menolongnya, malah menyembah Tuhan-Tuhan yang lain yang mereka persekutukan dengan Allah. Dalam ayat-ayat ini, Allah SWT mengungkapkan bagaimana keingkaran kaum musyrikin Mekah kepada seruan Rasulullah. Mereka bukan hanya menolak diajak kembali kepada agama tauhid, bahkan memusuhi Nabi Muhammad dan kaum Muslimin[11]

Tafsir Ayat
Istilah ( ٱللَّـهِ سُنَّةَ ) sunnatullah, dari segi bahasa terdiri dari kata  (سُنَّةَ ) sunnah dan (ٱللَّـه ) Allah. Kata ( سُنَّةَ ) sunnah antara lain berarti kebiasaan. Sedangkan ( ٱللَّـهِ سُنَّةَ ) sunnatullah adalah kebiasaan-kebiasaan Allah dalam memperlakukan masyarakat. Dan apa yang dinamai hukum-hukum alam pun adalah kebiasaan-kebiasaan yang dialami manusia. Para pakar merumuskan hukum-hukum alam itu sebagai kebiasaan yang dinyatakan Allah tidak beralih dan tidak pula berubah. Karena sifatnya demikian, maka ia dapat dinamai juga dengan hukum-hukum kemasyarakatan atau ketetapan-ketetapan Allah terhadap situasi masyarakat.[12]

Asbabun Nuzul Ayat
Pada suatu waktu kaum musyrikin berkata: “wahai Muhammad para Nabi itu bertempat tinggal disyam, mengapa kamu bertempat tinggal di madinah? Pada waktu itu Rasulullah saw hampir melaksanakan saran orang-orang musyrik, Allah swt menurunkan ayat ke 73-77 Al-Isra’ yang memberitahukan kepada Rasulullah tentang maksud jahat kaum musyrikin.[13]

Diriwayatkan oleh Abu syaih Ibnu Hayyan Al-Ansari dari Said bin Jubair bahwa Nabi Muhammad SAW pada suatu kali mengusap hajar aswad dalam tawaf, lalu dilarang oleh orang-orang Quraisy. Mereka Berkata “kami tidak akan mengijinkanmu menciumnya sebelum kamu datang kepada tuhan-tuhan kami.” Nabi berkata dalam hatinya, “Apakah salahnya jika aku mengunjungi tuhan-tuhan mereka, bila sesudahnya mereka membiarkanku mencium hajar Aswad. Allah mengetahui motivasiku mencium tuhan-tuhan mereka.” Akan tetapi, Allah tidak mengizinkan Nabi berbuat demikian, lalu kepada beliau kemudian diturunkan ayat ini.

Dalam ayat 73-76 dijelaskan bahwa usaha yang dilakukan kaum musyrikin Quraisy untuk menipu Nabi Muhammad SAW, sehingga beliau hampir saja terperdaya, berpaling dari wahyu yang telah diterimanya dari Allah SWT, dan memenuhi permintaan mereka agar mengakui tuhan-tuhan mereka. Karena perlindungan Allah, Nabi tetap bisa teguh pendirianya dan tidak berpaling sedikitpun mengahadapi tipu daya orang-orag kafir Quraisy. Hal itu bukan karena hati Nabi SAW lemah, tetapi menunjukan bahwa tekanan dan tipuan orang-orang kafir Quraisy sangat hebat.

Kemudian allah mengingatkan rasullullah jika ia sempat terpengaruh oleh tekanan orang-orang kafir itu, Allah akan menimpahkan siksaan berlipat ganda kepadanya, baik didunia maupun akhirat. Dengan demikian, kadar hukuman terhadap rosulullah dua kali lipat dari hukuman orang lain, begitu juga para istri Nabi.

Tekanan-tekanan yang dihadapi rosulullah dan kaum muslimin hampir berhasil membuat beliau tidak tahan lagi berdiam di Mekkah, apalagi setelah orang-orang kafir Quraisy membuat rencana untuk membunuhnya. Peristiwa itulah yang melatarbelakangi terjadinya peristiwa hijrah ke Madinah.

Allah menyampaikan ancamanya melalui Nabi Muhammad SAW kepada kaum kafir Quraisy bahwa jika Nabi dan kaum muslimin terusir dari mekkah, maka itu tidak akan dibiarkan oleh Allah. Dalam waktu singkat mereka akan dibinasakan Allah dan selanjutnya negeri Mekkah akan dikuasai kembali oleh kaum mukminin. Janji Allah itu terbukti dengan terbunuhnya para pemimpin Quraisy dalam perang badar yang terjadi pada tahun kedua setelah Nabi hijrah ke Madinah, dan ditaklukanya kota mekkah pada tahun ke-8 Hijrah.[14]

Dalam ayat ke 77 dijelaskan tentang hukum-hukum Allah yang berlaku umum, sebagaimana yang telah dialami oleh para nabi dan rasul sebelumnya. Mereka mengalami tekanan-tekanan yang berat dan diusir oleh kaumnya. Tetapi akirnya, Allah memenangkan kaum muslimin dan menghukum mereka yang ingkar. Demikian pula Rosulullah SAW dan para pengikutnya, mereka tidak luput dari tekanan dan penganiayaan kaum musyrikin Mekkah. Namun, hal itu tidak mempengaruhi keteguhan hati Rosulullah dan pengikut-pengikutnya, meskipun mereka terpaksa hijrah. Janji kemenangan dari Allah akan dating pada waktunya, dan musuh-musuh Allah akan mengalami kekalahan yang besar.

Perlu dijelaskan bahwa hukuman dengan memusnahkan mereka yang durhaka seperti yang terjadi pada kaum ‘Ad, Samud, kaum Lut, dan lain-lain yang dikenal dengan istilah azab al-isti’sal (hukuman dengan pemusnahan) tidak diberlakukan lagi setelah Rosulullah Muhammad SAW diutus, karena beliau pembawa rahmat ke seluruh umat mausia, dan adanya harapan bahwa kaum kafir Quraisy atau keturunya akan masuk Islam.[15]

Allah SWT berfirman:
وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمۡ وَأَنتَ فِيهِمۡۚ وَمَا كَانَ ٱللَّهُ مُعَذِّبَهُمۡ وَهُمۡ يَسۡتَغۡفِرُونَ ٣٣
Artinya: Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun. (Q.S. Al-Anfal: 33)

5. Q.S. Al Ahzab: 62
سُنَّةَ ٱللَّهِ فِي ٱلَّذِينَ خَلَوۡاْ مِن قَبۡلُۖ وَلَن تَجِدَ لِسُنَّةِ ٱللَّهِ تَبۡدِيلٗا ٦٢
Artinya: Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum(mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati peubahan pada sunnah Allah. (Q.S. Al-Ahzab: 62)

Tafsir Ayat
Dengan demikian, sunah allah yang telah berlaku atas orang-orang yang terdahulu sebelum diutusnya Nabi Muhammad saw akan berlaku pula bagi generasi yang datang kemudian. Hal itu tidak mungkin berubah dan pasti berlaku.[16]

Sunah Allah yang dimaksud di dalam ayat tersebut adalah mengenai azab atau balasan kepada orang-orang yang selalu menentang Allah, rasul-rasulnya, serta kaum mukminin. Dalam sejarahnya, jika orang-orang munafik dan orang-orang berpenyakit dihatinya, dan orang-orang yang menyebar berita bohong di medinah itu tidak berhenti mendustakan allah, menyakiti rasulnya, dan kaum mukminin, niscaya Allah memerintahkan Nabinya untuk memerangi mereka sehingga mereka tidak akan dapat lagi untuk hidup lebih lama lagi di madinah bertetangga dengan Nabi saw. Mereka yang diancam akan diperangi dan dimusnahkan oleh Nabi itu ada tiga golongan manusia:[17]
  1. Orang-orang munafik yang selalu menetang Allah secara tersembunyi.
  2. Orang-orang berpenyakit di dalam hatinya , seperti dengki dan dendam yang selalu menyakiti orang mukmin seperti mengganggu para perempuan.
  3. Orang-orang yang menyiarkan kabar bohong dimadinah sehingga menyakiti nabi saw, dengan ucapan mereka bahwa Nabi Muhammad saw akan dikalahkan dan diusir dari medinah dan sebagainya.
Ketiga golongan itu dilaknat di mana saja mereka berada, karena sikapnya yang selalu bermusuhan dan meruikan agama dan negara, mereka selalu dikejar untuk ditangkap dan dibunuh. Perlakuan ini termasuk sunah Allah yang tetap berlaku dan tidak akan berubah sepanjang masa.

E. Fungsi Sejarah bagi Kehidupan Manusia
Menurut Al-Qur’an paling tidak ada empat fungsi sejarah yang terangkum dalam QS Hud ayat 120, yaitu:
“Dan semua kisah rasul-rasul, kami ceritakan kepadamu (Muhammad), agar dengan kisah itu Kami teguhkan hatimu; dan di dalamnya telah diberikan kepadamu (segala) kebenaran, nasihat dan peringatan bagi orang yang beriman.” (QS Hud : 120).[18]
  1. Sejarah berfungsi sebagai  peneguh hati.
  2. Sejarah berfungsi  sebagai pengajaran
  3. Sejarah berfungsi sebagai peringatan
  4. Sejarah sebagai sumber kebenaran
KESIMPULAN
Secara leksikal al-qishah diambil dari kata “qashsha-yaqushshu” yang berarti menceritakan.

Kisah didalam Al_qur'an adalah pelajaran bagi orang-orang yang memiliki akal. Sedangakan orang-orang yang lalai yang tidak menggunakan akal pikirannya untuk memahami kenyataan yang ada, maka kisah nabi tersebut tidak akan bermanfaat baginya.

Konsep sejarah dalam Al-Qur’an adalah untuk mempelajari sunnah, yakni kebiasaan-kebiasaan atau ketetapan ilahi dalam masyarakat, sehingga tidak mengalami perubahan bagi umat manusia. Sunnatullah itu berlaku bagi semua manusia tanpa membedakan suku, ras, dan agama.

Hukum-hukum Allah yang berlaku umum, sebagaimana yang telah dialami oleh para nabi dan rasul sebelumnya. Mereka mengalami tekanan-tekanan yang berat dan diusir oleh kaumnya. Tetapi akirnya, Allah memenangkan kaum muslimin dan menghukum mereka yang ingkar.

Sunnatullah, yakni hukum-hukum kemasyarakatan yang ditetapkan oleh Allah SWT dan yang telah berlaku terhadap umat-umat terdahulu, dan bahwa sunnatullah yang dijelaskan itu berlaku bagi semua umat manusia,tanpa membedakan suku, ras, dan agama. Sunnah tersebut antara lain adalah “yang melanggar perintah-Nya dan perintah Rasul-Nya akan binasa, dan yang mengikuti-Nya akan berbahagia”. Yang menegakkan disiplin akan sukses.

Mereka yang menjadi pemimpin masyarakat seharusnya menjadi contoh teladan bagi masyarakatnya. Bila mereka melanggar hukum, hukumanya lebih berat, yaitu dua kali lipat dari hukuman orang biasa.

Terdapat empat fungsi sejarah bagi kehidupan manusia, yakni sebagai peneguh hati, pengajaran, peringatan dan sumber kebenaran.

PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami buat, semoga dapat memberi manfaat pada penyusun khususnya dan pada pembaca yang budiman pada umumnya. Kami sadari bahwa pembuatan makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan mengandung banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah kami selanjutnya.

Referensi
[1] Muhammad Fuad Al-Baqi, Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfadz Al-Qur’an Al-Karim, (Beirut: Daar al-Fikr, 1987), hal. 706
[2] Rachmat Syafe’I, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung : Pustaka Setia, 2006), hal. 137-138.
[3] A. Mustofa,  Al-Qur’an Hadits kelas XII, (Surabaya : Al-Ikhlas, 1994), hal. 17.
[4] M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 225.
[5] Departemen Agama RI,  Al Qur’an dan Tafsirnya( edisi disempurnakan), (Jakarta : Lentera Abadi, 2010), hal. 54-57.
[6] M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Tangerang : Lentera Hati, 2008), hal. 538-539.
[7] Kementerian Agama RI, Al Qur’an dan Tafsirnya Jilid VI, (Jakarta: Lentera Hati, 2010), hal. 191.
[8] Kementerian Agama RI, Al Qur’an dan Tafsirnya Jilid VI, (Jakarta: Lentera Hati, 2010), hal. 190.
[9] M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2003), hal 363
[10] M.Quraish Shihab, Al-Lubab Makna, Tujuan dan Pembelajaran dari surah-surah Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2012), hal 135.
[11] Kemetrian Agama RI, Al-Qur’an & Tafsirnya Jilid V, (Jakarta: Penerbit Lentera Abadi, 2010), hal.521
[12] M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2003), hal 521.
[13] A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 94.
[14] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya jilid V, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), hal. 521-523.
[15] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya jilid V, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), hal. 523.
[16] Kementrian Agama RI, Al-Qur’an Dan Tafsirnya Jilid VIII, (Jakarta : Penerbit Lentera Abadi, 2010), hal. 42.
[17] Kementrian Agama RI, Al-Qur’an Dan Tafsirnya Jilid VIII, (Jakarta : Penerbit Lentera Abadi, 2010), hal. 43.
[18] Departemen Agama RI,  Al-Qur’an Terjemah, (Bandung : Syamil Cipta Media. 2007), hal. 235.

Terima kasih telah membaca artikel ini & dipublikasikan oleh Kumpulan Makalah

1 komentar:

» Gunakan Bahasa yang baik.
» Komentar yang tidak sesuai akan dihapus.