PENDAHULUAN
Setelah peristiwa isra’ dan mi’raj. Suatu perkembangan besar bagi kemajuan dakwah Islam muncul. Perkembangan masa itu datang dari sejumlah penduduk Yasrib yang berhaji ke Mekkah. Pertama atas nama penduduk Yasrib, mereka meminta kepada Nabi agar berkenan pindah ke Yasrib. Mereka berjanji akan membela Nabi dari segala ancaman. Nabi pun menyetujui usul yang akan mereka ajukan. Dan persetujuan ini disepakati dalam suatu perjanjian. Perjanjian ini disebut perjanjian Aqobah kedua, setelah kaum musyrikin Quraisy mengetahui adanya perjanjian antara nabi dan orang-orang Yasrib, mereka kian gila melancarkan intimidasi terhadap kaum muslimin.
Hal ini membuat Nabi memerintahkan kaum muslimin untuk hijrah ke Yasrib. Lalu nabi pun hijrah ke Yasrib karena kafir Quraisy sudah merencanakan membunuhnya. Sebagai penghormatan terhadap Nabi, nama kota Yasrib di ubah menjadi Madinatun Nabi (kota Nabi) atau Madinatul Munawaroh (Kota yang bercahaya) karena dari sinilah Islam memancar ke seluruh dunia, di sinilah Madinah menjadi kota yang penting dalam sejarah peradaban Islam.
RUMUSAN MASALAH
A. Apakah latar belakang hijrah Rasulullah ke Madinah?
B. Bagaimana perjalanan hijrah Rasulullah ke Madinah?
C. Bagaimana perkembangan Islam di Madinah?
D. Bagaimana latar belakang Piagam Madinah?
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Hijrah Rasulullah ke Madinah
Latar belakang hijrahnya Nabi diawali dengan peristiwa perjanjian aqabah. Perjanjian aqabah dilakukan 2 kali, yang pertama dilakukan pada saat musim haji pada bulan juli tahun 620 M, pada suatu malam dengan ditemani Abu Bakar dan Ali, Nabi keluar melewati perkampungan Dzhul dan Syaiban bin Tsa’labah. Beliau menyampaikan Islam kepada mereka. Ketika Rasulullah melewati Aqabah di Mina. beliau mendengar beberapa orang yang sedang berbincang-bincang. Ternyata mereka adalah enam orang pemuda Yastrib. Mereka pernah mendengar dari kaum Yahudi Yastrib, bahwa ada seorang nabi dari para Nabi yang diutus pada masa ini, yang akan muncul dan akan mereka ikuti, sehingga mereka bisa memerangi kaum Khazraj, namun Nabi menginginkan perdamaian diantara mereka dan para pemuda Yastrib ini menyetujuinya. Setelah itu, mereka memeluk Islam dan kembali ke Madinah.[1]
Pada pelaksanaan haji tahun berikutnya, ada 12 orang yang datang, lima diantara mereka adalah enam orang yang sudah bertemu Rasulullah sebelumnya. Mereka menyatakan diri masuk Islam dan melaksanakan pembai’atan Aqabah 1. Adapun isi baiat tersebut yaitu: tidak akan menyekutukan Allah, tidak mencuri tidak berzina, tidak membunuh anak-anak sendiri, tidak akan berbuat dusta, tidak mendurhakai Nabi, barangsiapa yang menepatinya maka akan mendapat pahala dari Allah dan yang mendurhakainya akan mendapat balasan yang setimpal dari Allah.
Setelah bai’at itu terlaksana, beliau mengirim Mush’ab bin Umair Al-Abdary sebagai utusan yang pertama yang menyebarkan agama islam dikalangan penduduk Yastrib. Ia menginap di rumah As’ad bin Zurarah. Suatu hari mereka pergi bersama ke perkampungan Bani Abdul Asyhal dan Bani Zhafar. Sementara itu Sa’ad bin Mu’adz dan Usaid bin Hudhair sebagi pemimpin kaum Bani Asyhal yang masih musyrik, mendengar kedatangan mereka dan ingin menghalangi mereka menyebarkan agama Islam. Namun, setelah bertemu dengan Mush’ab dan mendengarkan ayat-ayat Al-Qur’an serta penjelasan tentang Islam, Sa’ad menyatakan masuk Islam dan juga mengajak kaumnya untuk masuk Islam.[2]
Pada musim haji berikutnya, yaitu tahun ketiga belas dari nubuwah, tepatnya pada bulan Juni 622 M, tujuh puluh tiga orang laki-laki dan tiga orang perempuan Yastrib yang telah memeluk Islam datang ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Mereka menginginkan Nabi hijrah ke Yastrib untuk menyelamatkan beliau dari kafir Quraisy Makkah. Tak lama setelah itu, mereka sepakat untuk berkumpul secara rahasia, disebuah bukit di Aqabah dan membentuk perjanjian Aqabah kedua dengan Nabi, yang berisi:
- Untuk mendengar dan taat dalam segala keadaan yang dialami Nabi.
- Untuk menafkahkan harta ketika dalam sulit dan mudah
- Untuk menyuruh kepada yang benar dan mencegah dari yang salah.
- Untuk mengharap Ridhla Allah dan tidak takut atau risau dengan celaan orang.
- Untuk menolong Nabi jika Nabi datang kepada penduduk Madinah, melindungi Nabi sebagaimana penduduk Madinah melindungi dirinya sendiri, istri dan anak-anak mereka, dan balasan bagi mereka adalah surga.[3]
B. Perjalanan Hijrah Rasulullah dari Mekah ke Madinah
Hijrah merupakan peristiwa besar sehingga dijadikan sebagai permulaan tahun baru kalender Islam, sejak Umar bin Khathab membuat kalender Hijriah. Hijrah merupakan bukti ketulusan dan dedikasi kepada keimanan dan akidah. Para muhajirin meninggalkan tanah kelahiran mereka, harta, keluarga da kawan-kawan mereka untuk memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya.
Peristiwa Hijrah merupakan suatu indikasi kebenaran ajaran Nabi dan latihan bagi para pengikutnya. Dengan proses itu, mereka menjadi mampu untuk memikul tanggung jawab sebagai khalifah Allah di muka bumi, untuk mengimplementasikan hukum-hukum Allah, melaksanakan perintah-Nya dan berjuang di jalan-Nya. Mereka menjadi ahli (mampu) saat harus terlibat dalam pembentukan Negara Madinah setelah sebelumnya,”tertindas dimuka bumu (Mekah), dan takut orang-orang akan menganiaya dan menculik mereka …” (al-Anfal:26)
Allah memilih Madinah sebagai tempat Hijrah kaum muslimin, sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa nabi bersabda, : [4]
“Tempat hijrah kalian sudah diperlihatkan kepadaku. Aku telah melihat tanah beragam dan ditumbuhi pohon kurma berada diantara dua gunung yang berupa dua Harrab.” (HR Bukhari dan Muslim).
Seizin Rasulullah saw kaum muslimin dari Mekah dan berbagai daerah lainnya berbondong-bondong hijrah ke Madinah dengan keyakinan dan kepercayaan diri yang mantap.
1. Di Darun Nadwah
Kaum Musyrikin Mekah berkumpul di Darun Nadwah untuk mengambil keputusan tegas mengenai persoalan itu. Pada akhirnya mereka menerima pendapat yang dikemikakan oleh Abu Jahal sebagai berikut : “Menurutku, setiap suku harus memilih para pemudanya yang kuat dan perkasa. Mereka semua harus membunuh Muhammad secara serentak.”[5]
Putusan tersebut diambil dalam pertemuan terbuka, sehingga wajar jika Rasulullah segera mengetahui rencana mereka dan menyadari bahaya yang mengancam dirinya di Mekah.
Rasulullah menunda hijrahnya, dan memberitahu Abu Bakar untuk menundanya juga hingga Allah mengizinkannya untuk hijrah. Aisyah berkata, “Abu Bakar telah bersiap-siap untuk berangkat ke Madinah, dan Nabi berkata padanya,’Jangan terburu-buru! Saya berharap saya akan mendapat izin untuk berhijrah (dan kamu dapat bersama saya).’”Ketika Allah mengizinkan, Nabi tidak memberitahu siapa pun kecuali Ali dan Abu Bakar beserta keluarganya. Orang-orang kafir marah besar dengan kepergian kaum muslimin ke Madinah, karenanya mereka mempunyai rencana busuk untuk membunuh Nabi.[6]
2. Hijrah Rasulullah saw
Rasulullah saw telah bersepakat dengan Abu Bakar r.a. mengenai rincian perjalanan yang akan mereka tempuh. Mereka berdua memilih goa untuk persembunyian mereka, yaitu goa disebelah selatan yang menghadap ke Yaman guna mengecoh para pengejarnya. Mereka juga menetapkan beberapa orang yang perlu mereka hubungi selama berada ditempat persembunyian, masing-masing akan diberi tugas khusus.
Di larut malam yang gelap pekat, Rasulullah saw berhasil menyelinap keluar dari rumah dan pergi ke rumah Abu Bakar Ash-shiddiq r.a, kemudian mereka berdua keluar melalui sebuah pintu kecil di belakang rumah menuju ke goa Tsaur, sebuah goa yang sangat berjasa dalam menyelamatkan kehidupan Risalah terahirdan hari depan peradaban yang sempurna.
3. Dalam Perjalanan ke Madinah
Setelah tiga hari tiga malam Rasulullah saw bersama Abu Bakar bersembunyi didalam goa, mereka berdua berniat melanjutkan perjalanan yang berat itu, karena kaum musyrikin tampaknya telah patah semangatnya untuk terus mencari. Mereka meminta Abdullah Ibnu Uraiqith , seorang non-Muslim sebagai penunjuk jalan.
Kaum Quraisy mengumumkan bahwa barang siapa yang dapat menemukan Rasulullah pasti akan diberi hadiah seratus ekor unta sebagai upahnya. Mendengar ada tiga orang mengendarai unta terlihat sedang dalam perjalanan menuju Madinah, Suqarah Ibnu Malik segera menyiapkan sejata dan mennggang kuda untuk mengejar mereka. Di tengah perjalanan, kuda itu tersungkur dan dia terlempar jatuh dari kudanya. Namun dia tetap melanjutkan lagi pegejaran demi hadiah besar, namun lagi-lagi kudanya tersungkur dan dia pun jatuh pula.
Saat itu Suraqah mulai percaya bahwa Rasulullah saw adalah pembawa kebenaran Ilahi. Ia meminta ma’af dan memohon supaya beliau sudi berdo’a memohonkan ampun dan kepada beliau ia menawarkan perjalanannya. Tawaran itu dijawab beliau, “kami tidak membutuhkan itu, tapi ku minta jangan lagi beusaha meangkap kami.” [7] Suraqah mengangguk. Ia lalu kembali pulang. Rasulullah saw bersama sahabatnya, Abu Bakar r.a., melanjutkan perjalanan.
4. Tiba di Madinah
Rasulullah dan para sahabat beliau menyelesaikan perjalanan ke Madinah selama delapan hari yang biasanya jarak itu ditempuh selama sebelas hari, dan sampai disana pada tanggal 12 Rabi’ul Awal tahun keempat belas yang bertepatan dengan 26 Juni 622 Masehi. Kabar kehilangannya dari Mekah telah mendahului beliau, namun persembunyiannya di goa Tsaur tidak ada yang mengetahui seorangpun. Penduduk kota sangat menanti-nanti kehadiran beliau. Setiap pagi orang berbondong-bondong keluar menelusuri jalan ke Mekkah untuk menjemput kemunculan junjungan mereka. Dan bayangan agung itu pun akhirnya muncul perlahan-lahan di ujung ufuk sana.
C. Perkembangan Islam di Madinah
Setelah sampai di Madinah, babak baru dalam sejarah Islam pun dimulai. Nabi Muhammad tidak hanya menjadi kepala agama tetapi juga sebagai kepala negara. Dalam rangka memperkokoh Islam disana, beliau segera meletakkan dasar-dasar kehidupan bermasyarakat, sebagai berikut:
- Pembangunan mesjid sebagai tempat salat, bermusyawarah, sebagai pusat pemerintahan, dan juga sebagai sarana penting untuk mempersatukan kaum Muslimin, contohnya Masjid Nabawi[8].
- Ukhuwah Islamiyyah. Nabi mempersaudarakan antara golongan Muhajirin dan golongan Anshar untuk melenyapkan rasa asing pada diri sahabat Muhajirin di kota Madinah, membangun rasa persaudaraan, serta agar mereka saling tolong-menolong[9].
- Hubungan persahabatan dengan golongan Yahudi Madinah yang terdiri dari Bani Quraizhah, Bani Nadhir, dan Bani Qainuqa. Nabi Muhammad mengadakan perjanjian, yang berisi[10]:
- Janganlah kaum Yahudi mendengki kaum Muslimin dan sebaliknya janganlah kaum Muslimin mendengki mereka.
- Hendaknya kaum Yahudi dan kaum Muslimin hidup bersama-sama sebagai suatu bangsa.
- Kaum Yahudi dan kaum Muslimin masing-masing merdeka mengerjakan agamanya dan masing-masing janganlah saling mengganggu.
- Jikalau kaum Yahudi diserang oleh musuh dari luar, kaum Muslimin wajib membantu mereka, begitupula sebaliknya.
- Jikalau kota Madinah diserang oleh musuh dari luar, kaum Yahudi dan Muslimin harus mempertahankannya besama-sama.
Perkembangan Islam yang terjadi di Madinah membuat orang-orang Mekah dan musuh-musuh Islam lainnya menjadi risau. Untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan gangguan dari musuh, Nabi mengatur siasat dan membentuk pasukan tentara. Umat Islam diizinkan untuk berperang dengan dua alasan yaitu[11]: untuk mempertahankan diri dari musuh serta menjaga keselamatan umat dan penyebaran Islam. Adapun peperangan yang terjadi diantaranya yaitu:
a) Perang Badar
Terjadi pada 8 Ramadhan tahun kedua H di daerah Badar, kurang lebih 120 Km dari Madinah. Nabi bersama 305 orang muslim melawan pasukan Quraisy yang berjumlah sekitar 900 sampai 1000 orang. Dalam perang ini kaum Muslimin keluar sebagai pemenang meskipun jumlahnya jauh lebih sedikit dibanding dengan tentara Quraisy.
b) Perang Uhud
Untuk membalas kekalahan mereka dalam perang badar, pada tahun 3 H Kaum kafir Quraisy berangkat ke Madinah dengan membawa 3000 pasukan berkendara unta, 200 pasukan berkuda dibawah pimpinan Khalid Bin Walid, 700 orang diantara mereka memakai baju besi. Nabi Muhammad menyongsong mereka dengan 1000 orang pasukan. Namun, baru saja melewati batas kota, Abdullah bin Ubay dengan 300 orang Yahudi membelot dan kembali ke Madinah. Meskipun demikian, dengan 700 pasukan yang tertinggal Nabi tetap melanjutkan perjalanan[12]. Kemudian beliau mengatur barisan perang kaum muslimin dan menempatkan 50 orang pemanah dilereng bukit uhud yang diketuai oleh Abdullah bi Jubair. Beliau berpesan padanya untuk tidak meninggalkan bukit tersebut baik tentara Islam menang ataupun kalah[13].
Pada awalnya pasukan Islam berhasil memukul mundur tentara musuh. Namun, kemenangan itu gagal karena prajurit Islam, termasuk didalamnya 40 anggota pemanah tergoda untuk memunguti harta rampasan milik musuh. Kelengahan kaum Muslimin ini dimanfaatkan dengan baik oleh musuh. Pasukan Khalid bin walid menyerang pasukan Muslimin dari belakang, melumpuhkan kesepuluh pemanah Muslimin yang masih berada dibukit, dan mengambil alih tempat strategis tersebut. Kemudian pasukan Quraisy yang tadinya melarikan kembali berbalik menyerang pasukan Islam menjadikannya porak poranda.
Dalam kondisi genting tersebut Nabi dilindungi oleh 30 orang sahabat yang terus melawan musuh dan menggunakan tubuh mereka sebagai tameng untuk melindungi Nabi. Pasukan Islam yang masih bertahan terus berjuang dengan gigih sehingga lambat laun pasukan Muslim menjadi teratur kembali. Melihat kekuatan pasukan Muslimin yang mulai dapat mengimbangi lagi kekuatan pasukan Musyrikin, akhirnya pemimpin mereka memerintahkan pasukannya untuk mundur dan kembali ke negeri mereka dengan tanpa membawa tawanan ataupun ghonimah dari pasukan Muslim. Oleh karena itu mereka tidak dapat dikatakan menang perang[14]. Tujuh puluh pahlawan Islam gugur dalam perang ini. Para sahabat lain dan Nabi sendiri menderita luka yang parah. Abdullah bin Ubay dan Bani Nadhir yang telah berkomolot untuk mengkhianati Nabi diusir dari Madinah. Kebanyakan dari mereka mengungsi ke Khaibar.[15]
c) Perang Khandak
Golongan Yahudi yang telah diusir oleh Nabi bersekongkol dengan kaum Quraisy guna menyerang Madinah. Mereka membentuk pasukan gabungan yang terdiri dari 24.000 orang dan berangkat ke Madinah pada tahun 5 H. Atas usul Salman al-Farisi, Nabi memerintahkan umat Islam untuk menggali parit guna menghalangi musuh. Karena tidak bisa memasuki Madinah, mereka mengepung kaum Muslimin dengan mendirikan kemah-kemah diluar parit hampir sebulan lamanya. Setelah itu Allah SWT menurunkan pertolongan berupa angin dan badai kencang yang menghantam dan menerbangkan perkemahan dan seluruh perlengkapan tentara sekutu. Akhirnya, mereka kembali ke negeri masing-masing tanpa hasil apapun[16].
d) Perjanjian Hudaibiyah
Pada tahun 6 H, ketika ibadah haji sudah disyari’atkan, Nabi memimpin sekitar seribu kaum Muslimin ke Mekah untuk melakukan ibadah umrah. Mereka berangkat dengan mengenakan pakaian ihram tanpa membawa senjata apapun. Sebelum tiba di Mekah, mereka berkemah di Hudaibiyah, beberapa kilometer dari Mekah. Namun, kaum Quraisy tidak mengizinkan mereka memasuki Mekah, sehingga diadakanlah perjanjian Hudaibiyah yang isinya antara lain[17]:
- Kaum Muslimin belum boleh mengunjungi Mekah tahun ini tetapi ditangguhkan sampai tahun depan.
- Lama kunjungan dibatasi hanya 3 hari saja.
- Kaum Muslimin wajib mengembalikan orang-orang Mekah yang melarikan diri ke Madinah, sedang sebaliknya pihak Quraisy tidak harus menolak orang-orang Madinah yang kembali ke Mekah.
- Selama sepuluh tahun diadakan gencatan senjata antara masyarakat Madinah dan Mekah.
- Tiap kabilah yang ingin masuk kedalam persekutuan kaum Quraisy atau kaum Muslimin bebas melakukannya tanpa mendapat rintangan.
Meski secara sekilas perjanjian ini merugikan umat Islam, namun sebaliknya perjanjian ini merupakan kemenangan diplomatik yang besar bagi umat Islam. Gencatan senjata dengan kaum Quraisy telah memberi kesempatan pada Nabi untuk memperkokoh dan menyebrkan Islam ke berbagai negeri. Nabi mengirim utusan dan surat pada kepala-kepala negara seperti raja yang ada di Ghassan, Mesir, Abesinia, Persia, dan Romawi. Diantara raja-raja diatas, ada yang menolak ajakan Nabi dengan baik, ada pula yang menolak dengan kasar, seperti raja Ghassan yang membunuh utusan Nabi dengan kejam[18].
e) Fathul Makkah
Selama dua tahun perjanjian Hudaibiyah berlangsung, dakwah Islam sudah menjangkau seluruh jazirah Arab dan mendapat tanggapan yang positif. Hal ini membuat kaum Quraisy Mekah merasa terpojok. Oleh karena itu, secara sepihak mereka membatalkan perjanjian itu. Melihat kenyataan ini, Rasulullah mengambil tindakan tegas dan segera berangkat ke Mekah pada tanggal 18 Ramadhan tahun ke 8 H, dengan 10.000 orang tentara muslimin. Nabi tidak ingin ada pertempuan dan pertumpahan darah terjadi di tanah suci Mekah. Oleh karena itu, Nabi bersabda pada pasukan Muslim, “Janganlah kamu sekalian memerangi mereka kecuali kepada orang yang memerangimu”.
Setelah itu, pasukan Muslimin yang telah dibagi menjadi empat bagian memasuki Mekah dari arah yang berbeda. Mereka dapat memasuki Mekah dengan mudah, hanya pasukan yang dipimpin oleh Khalid bin Walid saja yang mendapat serangan kecil dari kaum Quraisy. Islam pun tampil sebagai pemenang. Patung-patung berhala diseluruh negeri dihancurkan, setelah itu Nabi berkhutbah menjanjikan ampunan Allah bagi kafir Quraisy yang memeluk Islam. Setelah khutbah disampaikan, mereka berbondong-bondong memeluk agama Islam dan sejak saat itu Mekah berada dibawah kekuasaan Nabi SAW.[19]
f) Perang Hunain
Sekalipun Mekah telah ditaklukkan, masih ada dua suku Arab yang menentang Islam, yaitu Bani Tsaqif dan Bani Hawazin. Kedua suku ini berkomplot untuk menyerang Nabi guna menuntut balas atas berhala-berhala mereka yang telah dihancurkan. Nabi mengirim sekitar 12.000 pasukan ke Hunain untuk menghadapi mereka. Pasukan ini dipimpin langsung oleh Nabi dan kembali dengan membawa kemenangan. Dengan ditaklukannya dua suku Arab itu, maka seluruh jazirah Arab berada dibawah kepemimpinan Nabi. Selain perang-perang yang telah disebutkan diatas masih ada banyak peperangan lain yang terjadi antara kaum muslimin dengan orang-orang yang memusuhi Islam, seperti perang ghatafan, mut’ah, dll.
Pada tahun 9 dan 10 H (630-632 M) banyak suku dari beberapa pelosok Arab yang mengutus delegasinya kepada Nabi Muhammad menyatakan ketundukkan mereka. Masuknya bangsa Quraisy Mekah dalam Islam membawa pengaruh yang amat besar terhadap penduduk padang pasir tersebut. Tahun ini disebut dengan tahun Perutusan.
Pada tahun 10 H, Nabi melaksanakan haji Wada’ dan menyampaikan khutbahnya yang berisi: larangan menumpahkan darah kecuali dengan haq dan larangan mengambil harta orang lain dengan batil; larangan riba dan menganiaya; perintah untuk memperlakukan istri dengan baik dan perintah menjauhi dosa; persaudaraan dan persamaan diantara manusia harus ditegakkan; dan yang terpenting adalah umat Islam harus berpegang teguh pada Al-Qur’an dan sunnah Nabi. Isi khutbah ini merupakan prinsip-prinsip yang mendasari gerakan Islam. Selanjutnya prinsip-prinsip itu bila disimpulkan adalah kemanusiaan, persamaan, keadilan sosial, keadilan ekonomi, kebajikan, dan solidaritas.[20]
Setelah itu Nabi Muhammad kembali ke Madinah dan dua bulan kemudian Nabi menderita demam. Tenaganya menurun dengan cepat. Pada hari senin 12 rabi’ula awal 11 H/ 8 Juni 632 M, Nabi Muhammad SAW wafat dirumah istrinya Aisyah.[21]
D. Piagam Madinah
Agar stabilitas masyarakat dapat diwujudkan, Nabi Muhammad mengadakan ikatan perjanjian dengan Yahudi dan orang-orang Arab yang masih menganut agama nenek moyang. Sebuah piagam yang menjamin kebebasan beragama orang-orang Yahudi sebagai suatu komunitas yang dikeluarkan. Setiap golongan masyarakat memiliki hak tertentu dalam bidang politik dan keagamaan. Kemerdekaan beragama dijamin, dan seluruh anggota masyarakat berkewajiban mempertahankan negeri dari serangan luar. Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa Rasulullah menjadi kepala pemerintahan karena menyangkut peraturan dan tata tertib umum, otoritas mutlak di berikan pada bbeliau. Dalam bidang social, dia juga meletakkan dasar persamaan antara sesame manusia.
Perjanjian ini, dalam pandangan ketatanegaraan sekarang, sering disebut dengan konstitusi Madinah.
Mengenai kapan penyusunan naskah piagam atau perjanjan tertulis itu dilakukan oleh Nabi tidak pasti, mengenai waktu dan tanggalnya. Apakah waktu pertama hijriyah atau sebelum waktu perang Badar atau sesudahnya. Menurut Watt, para sejarah umumnya berpendapat bahwa piagam itu dibuat pada permulaan periode Madinah tahun pertama hijrah. Well Husen menetapkannya sebelum perang Badar seedangkan hurbert Grimne berpendapat bahwa piagam itu dibuat setelah perang Badar. Dan masih banyak lagi orang yang berpendapat tentang kapan penyusunan piagam Madinah. [22]
Dari 47 butir Piagam Madinah menurut penomoran Schacht jelas terlihat beberapa asas yang dianut:[23]
- Asas Kebebasan beragama
- Asas persamaan
- Asas kebersamaan
- Asas keadilan
- Asas perdamaian yang berkeadilan
- Asas musyawarah
PENUTUP
A. Kesimpulan
Latar belakang hijrahnya Nabi diawali dengan peristiwa perjanjian aqabah. Perjanjian aqabah dilakukan 2 kali, yang pertama dilakukan pada saat musim haji pada bulan juli tahun 620 M. Yang kedua yaitu dilakukan pada tahun ketiga belas dari nubuwah, tepatnya pada bulan Juni 622 M.
Setelah itu, kaum muslimin dari Mekah dan berbagai daerah lainnya berbondong-bondong hijrah ke Madinah. Orang-orang kafir marah besar dengan kepergian kaum muslimin ke Madinah, karenanya mereka mempunyai rencana busuk untuk membunuh Nabi. Mereka berdua memilih goa untuk persembunyian mereka, yaitu goa Tsaur. Setelah tiga hari tiga malam Rasulullah saw bersama Abu Bakar bersembunyi didalam goa, mereka melanjutkan perjalanan.
Rasulullah dan para sahabat beliau menyelesaikan perjalanan ke Madinah selama delapan hari, dan sampai disana pada tanggal 12 Rabi’ul Awal tahun keempat belas yang bertepatan dengan 26 Juni 622 Masehi.
Setelah Nabi hijrah ke Madinah, Islam berkembang dengan pesat. Nabi banyak melakukan perjanjian diplomatik dengan golongan nonmuslim seperti perjanjian Nabi dengan kaum Yahudi madinah dan perjanjian dengan kafir Quraisy yang dikenal dengan perjanjian Hudaibiyyah. Selain itu, banyak pula peperangan yang terjadi antara umat Muslim dan kaum kafir seperti, perang badar, uhud, khandak, hunain, dan fathul Makkah.
B. Kritik dan Saran
Demikian makalah ini kami susun. Kami berharap kepada pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang membangun kepada kami demi perbaikan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini berguna bagi kami khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Referensi
[1] K.H. Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Jilid 2, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hal. 399-400.
[2] Shafiyurrahman Al- Mubarakfury, Sirah Nabawiyah,(Bandung : Pustaka Islamka), hal. 200-203
[3] Muhammad al-Ghazali, Sejarah Perjalanan Hidup Muhammad, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003), hal. 188.
[4] Akram Dhiyauddin Umari, Masyarakat Madani, (Jakarta: Gema Insnai, 1999), hal. 73.
[5] Muhammad al-Ghazali, Sejarah Perjalanan Hidup Muhammad, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003), hal. 200.
[6] Akram Dhiyauddin Umari, Masyarakat Madani, (Jakarta: Gema Insnai, 1999), hal. 73-74.
[7] Muhammad al-Ghazali, Sejarah Perjalanan Hidup Muhammad, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003), hal. 209.
[8] Dr. Badri Yatim, M.A, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 25.
[9] K.H. Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Jilid 1, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hal. 470.
[10] K.H. Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Jilid 1, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hal. 476.
[11] Dr. Badri Yatim, M.A, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 27.
[12] Dr. Badri Yatim, M.A, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 28.
[13] K.H. Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Jilid 2, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hal. 112.
[14] K.H. Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Jilid 2, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hal. 127-129.
[15] Dr. Badri Yatim, M.A, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 29.
[16] Dr. Badri Yatim, M.A, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 29.
[17] Muhammad al-Ghazali, Sejarah Perjalanan Hidup Muhammad, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003), hal. 450-452.
[18] Dr. Badri Yatim, M.A, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 31.
[19] K.H. Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Jilid 2, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hal. 539-548.
[20] Muhammad al-Ghazali, Sejarah Perjalanan Hidup Muhammad, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003), hal. 612-615.
[21] Dr. Badri Yatim, M.A, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 33.
[22] Drs. H. Fatah Syukur NC, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang, Pstaka Rizki Putra,2009) hal.41
[23]Drs. H. Fatah Syukur NC, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang, Pstaka Rizki Putra,2009) hal.46
Terima kasih telah membaca artikel ini & dipublikasikan oleh Kumpulan Makalah
0 komentar:
Post a Comment
» Gunakan Bahasa yang baik.
» Komentar yang tidak sesuai akan dihapus.